Musashi is a Badass :))



Setelah membaca novel Musashi karya Eiji Yoshikawa, saya menemukan kalimat berikut:


"Daripada kau ingin ini atau itu, lebih baik jadikan dirimu raksasa yang diam tak bergerak, seperti Gunung Fuji. Jangan buang waktu buat mempesona orang. Kalau kau bisa menjadi orang yang pantas dihormati orang banyak, mereka akan menghormatimu biarpun kau tidak melakukan sesuatu"

Yup.

Chuck Norris? Who is she?

3,9,14,20,1

How do you calculate your love?

Cinta.

Segala sesuatu gampang dimulai, kecuali cinta. Kalau mau cari ilmu, kita tinggal buka buku. Kalau mau utang di bank, kita tinggal bawa jaminan. Kalau mau main sepakbola, kita tinggal pakai sepatu dan turun ke lapangan.

Tetapi akan memulai cinta? Betapa sukarnya! Itulah yang aku alami tadi pagi. Aku mau menulis tentang cinta, tapi tidak tahu harus dimulai dari mana.

Cinta itu mahluk yang paling kudus. Apakah engkau akan mendatangi gadis yang engkau cintai dengan membawa seikat bunga dan mengucapkan "Aku cinta padamu" atau engkau memperhatikan apa yang diperlukan gadis itu, apa kesulitannya, dan engkau membantunya?

Jangan memancing saya untuk mulai membahas tentang kebencian.

Mimpi Buruk


Suatu malam saya bermimpi. Mimpi yang sangat menakutkan sekali.

Kita tidak mau dikatakan pengecut, tapi kita sering bertindak seperti pengecut.

Apa sih pengecut itu? Tindakan pengecut menggambarkan ketidakberanian. Karena kita tidak berani, kitapun menyembunyikannya dalam keberanian bergerombol. Kita pengecut jika sendirian, namun tiba-tiba bertransformasi menjadi sosok yang gagah berani jika berada dalam kelompok. Kita ini manusia tanpa harga diri, manusia massa, bukan individu.

Keberanian itu masalah individu. Orang yang berani selalu memiliki landasan kebenaran yang universal. Kadang kita mengetahui kebenaran itu, tetapi tidak berani membelanya. Kita adalah pengkhianat kebenaran, takut mengambil resiko dan berubah menjadi mahluk pengecut. Kita tidak berani menanggung resiko kehilangan reputasi, jabatan, simpanan bank, atau persahabatan demi mempertahankan sesuatu yang takkan memberikan kita apa-apa kecuali martabat diri sebagai manusia.

Kita hanya merasa aman dalam gerombolan. Kita hanya berani atas nama golongan, ras, partai, jemaat, atau suku. Kita menjadi bagian dari suatu gerombolan yang tak berwajah. Di luar gerombolan, kita tak bermakna. Kalau sendirian, kita tak berharga. Tak punya pribadi, tak punya wajah, tak punya keberanian.

Kalau sudah seperti ini, tak jarang kita dengar suara-suara sinis para pengecut dengan sindiran sok berani, sok pahlawan, sok jago, atau pahlawan kesiangan. Buntutnya adalah kata-kata: yang penting aman.

Sungguh mimpi buruk yang sangat menakutkan, bukan?